“Riuh sekali di luar sana,” ujarku suatu sore di sebuah kedai kopi. Kau tersenyum, “tidak mau ikut serta? Supaya tambah riuh,” katamu. Aku tertawa lebar, “ikut sinting aku nanti!”

Aku kemudian bercerita, “akibat kondisi politik di negara ini, aku merasa kehilangan banyak teman. Mereka jadi berbeda. Atau aku yang berubah juga?”

“Ya, banyak juga yang merasa begitu. Padahal tahu sendiri politik itu dinamis. Tidak ada lawan abadi. Tidak ada kawan abadi,” katamu sambil menyeruput kopi Gayo.

“Tapi, kami pernah melewati waktu bersama. Sekarang hilang begitu saja hanya karena pilihan berbeda,” aku protes.

“Nah, kamu juga tidak paham politik. Santai saja lah, semua orang berhak punya pandangan dan tidak apa-apa jika berbeda denganmu.”

Aku merengut karena merasa tidak dibela. Kau tertawa lagi. “Lebih baik, kamu ambil studi politik. Biar ngga tambah mumet memikirkan dunia,” sambungmu.

“Ah, politik dangkal. Persamaan matematis abadi,” kataku mengutip pernyataan  Fisikawan Albert Einstein.

Kau pun tergelak.

“Jadi, mau ambil studi Fisika?” sahutmu. “Tidak juga,” jawabku.

“Hanya, apakah segala sesuatu ini bisa diperbaiki?”

Kau terdiam memandangku. Lalu pelan menjawab, “terkadang kita tidak perlu memaksa keadaan seturut keinginan. Tetaplah saja berbuat baik dengan mereka.”

(Setelah kurang tidur, 28 April 2017)

Leave a comment