Teh Madu dan Curug Tujuh

Jumat pagi di awal Juli 2011, Depok mendung dan dingin menggigit. Sejak malam kota ini sudah diguyur hujan. Namun niat untuk berwisata alam ke kawasan Cisarua, Bogor, Jawa Barat yang sudah kami rencanakan beberapa hari sebelumnya tak surut. Kebetulan pula dapat jatah libur, bersama Ferdinand Waskita dan kuda besinya kami berangkat pukul 7 pagi melalui jalur Cibinong-Kota Bogor-Ciawi-Cisarua.

Di rumah kami sengaja hanya mengisi perut dengan roti. “Kita sarapan di Bogor, ya,” ajaknya. Saya setuju. Sepeda motor dikendarai Ferdinand cukup santai 60 km/jam. Satu jam kemudian kami sampai  di Jalan Pajajaran, Bogor dan syukurlah cuaca cerah. Di tepi jalan ada beberapa tenda yang sudah buka, seperti soto mie, soto ayam, dan bubur ayam. Pilihan kami jatuh pada bubur ayam Sukabumi. Ini kali pertama saya makan bubur ayam Sukabumi. Buburnya agak cair dengan bumbu berupa kuah sayur yang kaya daun bawang. Isi lainnya sama dengan jenis bubur ayam yang biasa saya makan, kacang kedelai dan irisan ayam. Dengan lima ribu rupiah saya kenyang pagi itu.

Dari Jalan Pajajaran kami teruskan ke Tajur. Perjalanan sempat tersendat karena beberapa angkutan kota berhenti tiba-tiba untuk menaikkan atau menurunkan penumpang. Kemacetan juga terjadi saat memasuki Ciawi. Antrean kendaraan yang menanti penumpang, orang-orang yang lalu lalang dari pasar, serta kendaraan ke dan dari Ciawi membuat siapa pun harus awas. Beruntung kami di atas motor yang bisa selip sana-sini. Lima menit berada di situ, kami pun segera melaju ke tempat pengisian bahan bakar karena jarum penunjuk isi tangki sudah berada di tengah. Setelah membayar lima belas ribu rupiah, kami siap menempuh ‘pendakian’.

Kali ini kami melalui jalan alternatif ke Taman Safari. Pemandangan kebun sayur-mayur dan hijaunya perbukitan cukup memanjakan mata saya. Tak jarang kami melalui perumahan dan vila. Karena naik-turun jalan di sini cukup terjal dan lebar aspal hanya cukup untuk dua kendaraan, maka saya terus mengingatkan Ferdinand supaya hati-hati mengendarai motor. Sekitar satu jam kami melalui jalan alternatif itu dan keluar di Pasar Cisarua. Di sini keluwesan naik motor juga diuji. Jalanan yang becek, penjual yang berada di tepi jalan, pembeli yang berjalan kaki, ditambah dengan pengendara motor yang hendak berbelanja atau membawa barang menciptakan keruwetan yang sempurna. Sekitar sepuluh menit kami pun ke luar dari pasar itu dan tiba di Jalan Raya Puncak. Wah, kondisi lalu lintas menuju arah Jakarta pukul 9 pagi itu sudah tak bergerak. Namun, arah sebaliknya tidak. Beruntungnya kami karena itu berarti jalan menuju perkebunan teh lancar. Sepuluh menit kemudian sampailah di agrowisata Gunung Mas.

Memasuki kawasan ini, barisan pohon teh yang rapi menyapa kami. Dan ya, selanjutnya tentu saja penjaga loket. Untuk motor  dikenakan harga Rp 2,500 sedangkan pengunjung Rp 6 ribu. Bila Anda menggunakan mobil dikenakan biaya Rp 7,500. Saat itu area pengunjung masih tampak sepi. Baru satu-dua mobil yang terparkir, sedangkan motor belum ada. “Motornya diparkir di sini,” ujar seorang bapak tanpa pakaian seragam. Ferdinand hanya meng-iya-kan tanpa memarkir. “Kita ke atas dulu aja, yuk,” ajak Ferdinand. “Boleh. Sambil tukar tiket dengan teh,” sambung saya karena ingat potongan kertas berwarna merah muda itu bisa ditukar dengan satu bungkus teh di kafe yang ada di perkebunan ini. Dari area pengunjung menuju kafe hanya memakan waktu lima menit dengan motor melalui jalan aspal selebar kira-kira 6 meter. Jalan kaki juga bisa sambil menikmati kebun teh. Namun, hati-hati di situ tidak disediakan jalur khusus pejalan kaki sehingga bila ada angkutan atau mobil pribadi lewat, kita harus menepi.

‘Café tea’ yang berbentuk rumah panggung masih sepi, baru kami berdua yang menyambangi. Di meja pemesanan sekaligus pembayaran tak ada orang. Beberapa kali kami memanggil “Ibu” atau “Mbak” tapi tak ada jawaban. Lima menit kemudian, barulah muncul perempuan muda. Dengan dia, saya tanya apa bisa tukar tiket dengan teh. “Oh, sedang habis, kalau mau di bawah saja tukarnya. Itu cuma satu sachet teh celup, kok,” jawabnya. Bawah yang dimaksud adalah kafe dekat area pengunjung.  Akhirnya kami memesan saja menu yang ada. Pilihan jatuh pada ‘hot honey lemon tea’ dan pisang bakar keju.

Karena udara tidak terlampau dingin, saya pun melepas jaket. Sambil menikmati kesejukan di lokasi yang berada pada ketinggian 800-1,200 meter di atas permukaan laut, saya mengamati kondisi kafe. Kuda-kuda sebagai penopang atap dari bambu dan disatukan dengan ikatan ijuk. Meja makan dibuat dari bilah-bilah kayu dan kaki tempat duduk dibentuk mirip batang pohon. Lantai pun dipasang dengan papan-papan sehingga menambah kesan alami. Sembari menunggu saya periksa telepon seluler, tapi ah tak dapat sinyal. Lalu saya pun membaca koran yang tadi kami beli di Ciawi. Sekitar lima menit, dua cangkir teh datang. Madunya masih berada di dasar cangkir sehingga perlu saya aduk supaya menyatu dengan teh. Tak lupa perasan lemon. Setelah tercampur rata, saya menghirupnya melalui sendok. Hmm.. segar. Sekitar sepuluh menit kemudian, pisang bakar keju pun datang dan menggoda saya untuk segera menyantap. Udara di puncak gunung memang selalu membuat perut lapar. Saat makan, beberapa keluarga menghampiri ‘café tea’ ini.

Dari awal masuk lokasi, saya lihat beberapa spanduk promosi sebuah merek teh. Karena ingin tahu, saya hampiri lemari pamer. Seorang ibu mendekati saya. “Ini teh dari sini kan, bu?,” tanya saya memastikan. Ia meng-iya-kan kemudian menawari saya beberapa bentuk teh, yaitu celup dan seduh dengan varasi rasa melati, blackcurrant, dan jahe. Saya memilih teh celup melati isi 25 dengan harga per pak Rp 5 ribu. Saya ambil dua pak dan satu kemasan botol teh hijau. Untuk yang botol dihargai Rp 3 ribu. Sambil membayar saya tanya pada pemuda yang bertugas sebagai kasir, “Merek ini baru ya? Sepertinya dulu belum ada. “ “Iya,” jawabnya. “Sudah dipasarkan ke mana saja?” lanjut saya. “Baru di sini saja. Kalau yang ini sudah ada di supermarket Cisarua,” katanya sambil menunjuk teh dengan kemasan botol. Ia juga menyatakan kalau teh ini baru punya merek belum ada setahun. Secangkir teh madu tadi dihargai Rp 6 ribu dan satu porsi pisang bakar keju yang terdiri dari empat buah merogoh kocek Rp 17,500. Kecuali teh pak dan botol, harga makanan dan minuman di kafe ini belum termasuk pajak 10 persen.

Motor pun melaju kembali ke area pengunjung dan lagi-lagi si bapak yang memberi tahu tempat parkir tadi tetap di situ. Setelah parkir, kami bersiap untuk ‘tea walk’. Jalan yang kadang berbatu namun juga hanya tanah di sepanjang kebun teh tak terlalu menanjak. Beberapa keluarga sudah menjelajah kebun dan kami tak mau ketinggalan. Langit tampak cerah pukul 10.30 kala itu sehingga panorama pegunungan terlihat jelas di kamera saku saya.

Sekelompok keluarga pun mengabadikan momen itu dengan berfoto bersama. Di tepi jalan perkebunan tak jarang kami melihat potongan kayu yang berserakan. Dengan jalan santai jalur ini dapat ditempuh dengan waktu sekitar 45 menit dan keluar di dekat ‘café tea’ tadi. Dari situ kami berjalan turun menuju area pengunjung sekitar 10 menit.

Sesampainya kembali di area pengunjung, Ferdinand ingin ke kamar kecil. Saya memilih menunggu di sekitar parkir mobil. Pengunjung sudah mulai banyak berdatangan karena parkir sudah mulai penuh. Beberapa  keluarga asyik bercengkerama di atas tikar yang mereka gelar di rerumputan. Saya tertarik mengamati seorang anak yang sedang berusaha menaikkan layang-layang dan tampak kesulitan. Bapaknya pun demikian. Akhirnya, si penjual yang menaikkannya. Benang ia tarik ulur hingga layangan berekor itu makin tinggi dan tinggi. Meski siang itu angin tak banyak berhembus tapi si penjual berhasil menerbangkannya. Si anak tampak senang lalu ia dengan santai memegangi kayu tempat benang dikaitkan. Saat layangan mulai merendah, si penjual kembali menaikkannya.

Di lokasi ini tersedia beberapa permainan untuk anak-anak, seperti trampolin, flying fox,dan perahu. Namun, sayang hari itu tidak buka padahal banyak anak yang datang karena sedang libur sekolah. Sekitar sepuluh menit saya mengamati pengunjung, Ferdinand mengirim pesan singkat kalau dia sudah di tempat parkir motor. Untunglah sinyal bagus, karena saya sudah bergerak cukup jauh dari tempat semula. Di situ saya mendapati wajahnya cemberut. “Kencing di sini bayar 2 ribu. Mahal banget, di Jakarta saja seribu perak. Tahu begitu, aku numpang di kafe tadi.” Keluar dari parkir motor, si bapak tadi dengan aktif membantu menarik motor ke jalur aspal dan untuk penjagaan saya memberinya Rp 2 ribu.

Perjalanan belum selesai. Dari perkebunan teh kami mengarah turun untuk mengunjungi lokasi wisata alam lainnya, yaitu Curug 7 Cilember. Letaknya cukup jauh dari perkebunan ini, sekitar setengah jam. Namun sayang, sampai di dekat pintu masuk Taman Safari jalanan mulai tersendat. Ferdinand pun dengan gemulai mencari celah jalan di antara mobil-mobil. Bila kita dari arah Bandung, maka posisi jalan masuk curug berada di sebelah kanan sekitar 5 menit dari Royal Safari Garden Resort & Convention.  Patokan lainnya adalah plang “Taman Kupu-kupu–Curug Cilember” dipasang di mulut jalan yang memiliki lebar kira-kira 5 m. Tempat wisata dengan ketinggian 1,050 di atas permukaan laut ini terdapat di Jalan Cisarua Puncak Km 10, Desa Cilember, Cisarua. Sejam kemudian kami sampai di lokasi yang memiliki tujuh curug. Curug dalam bahasa Sunda berarti air terjun.

Memasuki pintu masuk kami langsung bertemu dengan juru parkir muda dan lagi tanpa seragam. Untuk biaya parkir dan titip helm dikenakan biaya Rp 7 ribu. “Bayarnya nanti saja waktu mau keluar,” kata pemuda itu sambil memberikan kartu bernomor pada Ferdinand. Setelah membayar tiket masuk Rp 10 ribu per orang, kami menapaki tangga menuju area pengunjung.

Selain turis domestik, tak sedikit dari mancanegara berkebangsaan Arab yang mengunjungi curug. Mereka tampak dalam rombongan keluarga atau bersama teman-teman. Karena udara lebih dingin, saya enggan membuka jaket. Ah, awan gelap mulai berarak menutupi kawasan ekowisata yang dikelola oleh Perusahaan Hutan Negara Indonesia (Perhutani). Mumpung belum turun hujan kami segera mengunjungi curug 7, air terjun paling rendah yang berada sekitar 300 m dari tempat pembelian tiket. Sebelum mencapai curug, ada kubah taman kupu-kupu yang menurut informasi sebagai tempat konservasi. Sayang hari itu sedang tutup sehingga saya tak bisa melihat lebih jauh isinya.

Tepat di samping kubah, terdapat plang peta informasi lokasi. Nah, jika Anda tertarik untuk mendaki di situ tertulis jarak dan waktu antar satu curug ke curug lainnya. Misalnya dari curug 7 ke curug 5 yang berjarak sekitar 450 meter yang dapat ditempuh selama 30 menit. Atau dari curug 5 ke curug 4 dapat ditempuh dalam waktu 15 menit karena memiliki jarak lebih pendek yaitu sekitar 150 m. Air terjun terjauh yaitu curug 1 yang ditempuh dengan waktu sekitar 3 jam karena medan yang makin terjal.

Di beberapa bagian tanah datar sekitar saya berdiri telah dipasang kemah yang bisa langsung disewa. Per malam dikenakan Rp 18 ribu per orang untuk hari biasa, sedangkan Sabtu dan Minggu dikenakan Rp 20 ribu per orang. Saya baru melihat sekelompok remaja yang menyewa. Tenda-tenda lainnya masih tampak kosong.

Curug 7 menjadi puncak perjalanan kami. Lanskap alamnya membuat saya tenang berada di sini. Para pengunjung dengan sigap naik ke atas batu yang berada di bibir ‘kolam’ antara air terjun dan kali kecil dengan batu-batu besar. Dari situ kita mendapatkan latar air terjun. Beberapa pemuda dengan berani makin mendekati air terjun supaya mendapat tampak belakang lebih indah. Tak jauh dari curug terdapat kamar basuh bagi mereka yang habis berenang. Dari tempat saya duduk terbaca biayanya Rp 2 ribu per orang.

Setelah setengah jam menikmati pemandangan deret pohon pinus dan merendam kaki di aliran air, kami mulai kelaparan. “Makan mie rebus enak nih,” ujar Ferdinand. Saya mengangguk lalu bergerak meninggalkan curug untuk ke area makan tak jauh dari situ. Ketika sedang asyik menyusuri tangga, tiba-tiba hujan turun. Setengah berlari kami menuju ke salah satu warung. Meja-meja tampak kosong pengunjung, hanya ada sepasang kekasih yang duduk lesehan. Seperti yang sudah direncanakan, kami memesan dua mie rebus telur. Pengunjung lainnya yang duduk di sebelah warung tempat kami singgah tampak menghangatkan badan dengan minum kopi dan merokok.

Tak lama kami makan, turis dari Arab mampir untuk membeli payung dan dengan fasih si ibu penjual berbicara dalam bahasa Arab. Sebelumnya saya juga berpapasan dengan seorang pemuda lokal yang mengajak bicara turis Arab. Wah, tampaknya selain Indonesia dan Sunda, bahasa Arab kini menjadi kebutuhan komunikasi warga Cisarua. Sekitar satu jam hujan mengguyur dan reda pada pukul 3 sore, kami beranjak pulang. Mie rebus yang kami makan dihargai Rp 8 ribu semangkuk dan satu gelas (tinggi) kopi susu Rp 7 ribu.

Suasana di area pengunjung sore itu tampak lebih hidup. Toko-toko cinderamata sudah buka, turis bersama pelayan warung asyik mengobrol, dan juga ada pasangan yang sedang berfoto. Si perempuan bergaun pengantin putih dan si laki-laki bersetelan jas. Dengan sigap sang fotografer mengabadikan mereka yang tampak mesra berpelukan dengan latar pohon basah habis hujan…

Juli 2011