Mengingat Mei 1998

Siang itu saya menunggu kereta di Stasiun Tebet. Seperti biasa, seminggu dua kali saya ikut bimbingan belajar untuk ujian masuk perguruan tinggi di salah satu SMA bilangan Bukit Duri. Kondisi stasiun saat itu sepi. Tas yang saya bawa hanya map plastik berisi buku, alat tulis, dan dompet. Supaya mudah membawanya kala naik kereta. Kira-kira setengah jam saya menunggu, kereta pun datang. Kereta ekonomi dan cukup penuh tapi saya paksa diri untuk masuk. Rumah saya saat itu di Kalibata Selatan dan rencana turun di Stasiun Pasar Minggu dan kemudian menyambung mikrolet.

Di dalam kereta mulai sesak. Saya hanya berpikir, memang sudah biasa. Tapi, semakin dekat Pasar Minggu, jumlah orang semakin banyak. Dan tiba di Stasiun Pasar Minggu, saya hendak turun tapi orang semakin banyak naik dari stasiun itu. Saat itulah saya lihat pusat perbelanjaan di depan stasiun itu terbakar. Ah, ada apa ini? pikir saya. Saat itu bergerak sedikit pun saya tidak mampu. Seorang anak kemudian menangis kencang pasti karena kepanasan. “Copet, jangan cari kesempatan ya lagi begini!” teriak seorang bapak dekat saya. Saya mulai panik, bingung karena tak bisa keluar. Saya kemudian memutuskan hendak turun di stasiun selanjutnya, tapi kendaraan umum di jalan raya tak terlihat. Di tengah suasana itu, saya akhirnya memutuskan untuk turun Depok. Di situ tinggal adik ibu saya.

Ketika kereta berhenti di salah satu stasiun depan kampus, saya lihat beberapa mahasiswa berjaket biru menduduki Jalan Raya Lenteng Agung. Semakin yakinlah saya kalau ada kerusuhan! Di dalam kereta saya berpikir kalau sampai di Depok saya tidak bisa naik angkutan umum, saya akan naik becak atau jalan kaki atau menelepon tante saya untuk menjemput.

Sesampainya di Stasiun Depok Baru, saya segera turun dan mencari angkutan kota warna biru. Ah, syukurlah masih ada. Memasuki kompleks perumahan tante saya, di pos jaga telah berdiri beberapa orang di depan palang pintu masuk. Dengan becak, saya masih bisa mencapai rumah tante.

Di rumah tante, ia dan kebetulan ada kakek saya, bersyukur karena kedatangan saya. “Mama-mu cariin kamu! Karena Jakarta ada kerusuhan! Bingung cariin kamu ke mana-mana!” cerocos tante saya. Tahun itu saya belum pegang ponsel atau pager jadi agak susah mau komunikasi. Setelah menelepon ibu, akhirnya saya tahu apa yang terjadi hari itu. Orang-orang di sekitar rumah saya menjarah salah satu pusat grosir di dekat rumah. Dan dari televisi, saya pun tahu demo mahasiswa dan kabar pemerkosaan (!)

“Aku mau jaga-jaga, katanya penjarah mau masuk sini!” kata kakek saya menjelang malam. Meski ternyata penjarahan tidak terjadi, tapi baru kali itu saya merasa takut. Takut di negeri sendiri..

12 Mei 2011

-berusaha mengingat kejadian Mei 1998 itu..-