Penebusan

Apa yang kau tahu soal cinta? Kalau aku bilang: manis seperti bronis..

Aku mengenalnya sejak kelas menengah pertama. Betul, itu masa puber. Aku pun tahu yang namanya suka sama lawan jenis seperti ini: jantung berdebar ketika dia lewat kelas, kalau tak ketemu rasanya ingin jumpa (yang akhirnya aku ketahui bernama kangen), dan senangnya mendengar lagu-lagu bertema cinta. Karena aku suka menulis buku harian, mulailah juga puisi tercipta untuknya.

Sayangnya, aku tak berani unjuk gigi kepadanya dan teriak: saya suka kamu! “Jadi perempuan itu mesti sopan, kalau kamu suka sama laki-laki, biar dia yang dekati kamu,” pesan Ibu. Ya, itu pesan untuk aku anaknya, masa a-be-ge dulu. Sekarang, aku sudah berubah! Aku sudah berubah menjadi perempuan dewasa yang tahu apa yang harus dilakukan. Bukan begitu, Isal, sayangku?

***

Sepuluh tahun waktu yang tak sebentar untuk melupakan Isal. Entah, ada apa dengannya sehingga aku tak mampu begitu saja mengubur perasaan. Meski ada Luki, Rangga, Erlang, dan yang saat ini di sisiku, Fero. Tapi apa daya, Isal yang cuma bisa buatku selalu menulis puisi. Meski puisi sendu.

Waktu memang bukan teman kita
Ia dapat sesukanya merubah keinginan
Dan menjadikan mimpi
Tinggal sebongkah kenangan tak bertuan
Yang datang hanya untuk mengingatkan
Kalau kita pernah: dicinta dan mencinta

Waktu memang bukan teman kita
Ia telah membaringkan kita sejenak
Pada satu ranjang kedamaian
Dan selanjutnya menggantinya
Dengan satu ranjang kepedihan

Waktu memang bukan teman kita
Tapi ia akan selalu menemanimu
Menjelajah dunia
Belajar untuk menghargainya
Hingga menjaganya agar selalu
            Menjadi seorang teman yang baik

Aku tetap di sini
Menanti waktu menjadi sahabat terbaik
Dalam perjalanan-perjalanan ini

            Saat-saat ini selalu jatuhkanku dalam satu harap sederhana
            : waktu itu berpihak padaku

Itu baru satu puisi. Ada puluhan lainnya puisi dan tentu saja untuk Isal. Maka, di tahun ke sepuluh ini, batinku mulai berontak. Aku lupakan pesan Ibu. Aku lepas pencitraan seorang perempuan menurut Ibu! Secara perlahan, aku kembali mendekati Isal. Dan sepertinya Semesta mendengar doaku, ia pun menyambut kedatanganku meski ia tengah bersama kekasihnya. Ya, posisi kami satu sama, ha-ha. Inilah yang menjadikan kami makin lengket meski ada gundah juga kalau Fero tahu soal hubungan ini.

Tapi, aku tak mau melepas Isal lagi. Dulu, karena pesan Ibu, aku harus merelakannya pergi bersama orang lain. “Ya ampun, Teza, mana aku tahu kalau kamu dulu suka sama aku?” katanya kaget saat aku mengaku suka dia sejak es-em-pe. “Memang, kamu ngga terima puisiku?” ujarku sambil menunduk. “Puisi? Hmm.. iya, aku ingat, sering ada yang taruh kertas isinya puisi di laci tempat duduk aku. Jadi, itu dari kamu?” Aku tersenyum malu. “Ha-ha-ha. Mana aku tahu, Za, wong ngga ada nama pengirimnya..” Aku ikut tertawa. Menertawakan kebodohan masa itu.

Dan sekarang aku tak mau bodoh lagi. Isal sudah di tanganku dan itu berarti aku harus melepas Fero. Meski ia sudah menemaniku tiga tahun terakhir. “Aku lepas Fero. Dan kamu lepas Sina,” kataku di suatu malam. Isal terdiam. Aku tahu, ia sebenarnya tak tega meninggalkan Sina, karena tak sebentar juga ia bersamanya. “Kita ngga bisa main belakang terus. Capek juga kalau ketemu teman-teman waktu kita jalan bersama. Ibu juga mulai curiga, kenapa aku makin jarang pergi dengan Fero.” Sambungku,  “aku sayang kamu, Sal. Aku ngga mau kehilangan kamu lagi,” bujukku sambil memeluknya. Ia membalas pelukku. “Besok, kita akan bebas, sayang,” bisiknya di telingaku.

***

Dan akhirnya kami pun bebas. Bebas pergi berdua dan berfoto untuk mengabadikan momen. Aku tahu, banyak mata teman kami yang sinis saat melihat kami bersama. Tapi, apa yang mereka tahu tentang perasaanku? Sekarang waktu itu milikku! Sepuluh tahun penantianku sudah tertebus dan rasanya..manis. Persis seperti bronis yang kumakan bersamanya sore ini di kota yang selalu hujan.. (*)

Beji, 2 mei 2011