Separuh kegiatan saya selama ini didukung oleh moda transportasi berbasis rel, mengingat semakin lamanya waktu yang harus ditempuh akibat kemacetan di jalan raya. Saya menggunakan moda transportasi ini tidak hanya untuk urusan pekerjaan di Jakarta, dengan CommuterLine, namun juga ke luar kota dengan kereta yang disediakan oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI). Misalnya saat saya ingin berkunjung ke rumah sanak saudara di Sukabumi. Jika menggunakan bus dari kota domisili saya di Depok, waktu yang ditempuh bisa mencapai lima jam. Sedangkan bila saya naik Kereta Api Pangrango dari Stasiun Bogor Paledang cukup memakan waktu dua jam; ditambah sekitar 45 menit jika saya dari Stasiun Depok Baru menuju Stasiun Bogor. Selain soal waktu tempuh, harga tiket Kereta Api Pangrango juga bersaing dengan tiket bus Depok-Sukabumi.  Pangrango memiliki kelas eksekutif dengan harga Rp 50.000 dan kelas ekonomi dengan harga Rp. 20.000. Jika naik bus tanpa pendingin udara dikenakan biaya Rp 50.000.

Jika Anda turun di Stasiun Bogor, jarak menuju Stasiun Bogor Paledang sekitar 150 meter dan dapat dicapai dengan berjalan kaki. Namun, yang masih sedikit mengganjal sampai saat ini adalah akses dari Stasiun Bogor ke Stasiun Bogor Paledang yang masih sulit karena harus menaiki jembatan penyeberangan orang yang berada di sisi selatan. Pada Agustus 2017, jumlah penumpang yang dilayani Kereta Api Pangrango sebanyak 71.125 dari total jumlah tempat duduk yang disediakan sebanyak 76.788 (www.kumparan.com, 17/09). Angka ini menunjukkan minat masyarakat yang tinggi untuk menggunakan kereta api menuju Sukabumi.

Selain itu, Presiden Jokowi telah merencanakan membangun rel ganda pada jalur Bogor Paledang sampai Sukabumi sepanjang 57 kilometer. Pada 2019 diharapkan masyarakat dapat menikmati perjalanan dengan jumlah kereta mencapai 10 rangkaian. Bisa dibayangkan saat itu penumpang yang datang dari arah Jakarta menuju Stasiun Bogor Paledang akan mengalami peningkatan sehingga kemudahan mencapai stasiun menjadi hal yang sangat penting.

Sebagai contoh, saya memiliki anak kecil dan bila bepergian cukup merasa kelelahan saat harus berjalan menaiki jembatan penyeberangan orang setinggi kurang lebih 10 meter. Belum lagi mereka yang membawa barang menuju ke Stasiun Bogor Paledang dari Stasiun Bogor. Kesulitan yang dialami penumpang akan bertambah saat hujan mengingat predikat Bogor sebagai kota hujan.

PT KAI sendiri telah melakukan pembangunan jalur bawah tanah di dalam area stasiun. Hal ini menimbulkan harapan agar dibangun pula jalur bawah tanah khusus pejalan kaki yang menghubungkan Stasiun Bogor dengan Stasiun Bogor Paledang melalui Jalan Kapten Muslihat. Penyediaan jalur bawah tanah menuju Stasiun Bogor Paledang tentunya harus berkolaborasi dengan Pemerintah Kota Bogor sehingga pembangunan dapat berjalan dengan lancar.

20170620_084335-01
Jalur bawah tanah di Stasiun Manggarai

Pengendara kendaraan pribadi yang ingin menuju Stasiun Bogor Paledang bisa memarkirkan kendaraan mereka di Stasiun Bogor kemudian berjalan kaki menuju Stasiun Bogor Paledang. Jalur bawah tanah lebih sesuai di lokasi tersebut karena di koridor Jalan Kapten Muslihat terdapat bangunan tua bersejarah Gereja Katedral dan Gunung Salak di sisi selatan. Dengan begitu, pergerakan manusia di bawah tanah tidak akan menganggu visual kota tersebut. Tangga di jalur bawah tanah sebaiknya dilengkapi dengan eskalator bagi para lansia, ibu hamil, dan ibu dengan anak. Ramp dan jalur tuna netra juga disediakan bagi para difabel. Selain itu, tempat makan khas Bogor dapat menarik minat penumpang untuk mengisi perut dan bersantai sejenak sambil menunggu kereta datang.

KAI di masa depan saya harap bisa menjadi moda transportasi pilihan sebagai penunjang hidup masyarakat. Ia bukan lagi hanya sebuah benda namun pelayanan yang membuat siapa pun dapat pergi dengan mudah. Tiket bisa dibeli di mana saja, hemat biaya, jadwal kereta tepat waktu, akses yang lancar untuk mencapai stasiun, penyediaan lahan parkir yang memadai, serta sebagai tempat pengembangan usaha kecil dan menengah warga lokal.

Apakah Anda juga berharap hal yang sama?

Leave a comment